Mitigasi Perubahan Iklim: Adaptasi Tanaman Pangan terhadap Kekeringan dan Curah Hujan Ekstrem

Sektor pertanian global menghadapi ancaman eksistensial dari perubahan iklim, yang manifestasinya terlihat jelas dalam pola cuaca yang semakin tidak terduga, mulai dari kekeringan berkepanjangan hingga curah hujan ekstrem yang memicu banjir. Upaya Mitigasi Perubahan Iklim dalam konteks pertanian bukan hanya tentang mengurangi emisi gas rumah kaca, tetapi juga tentang pengembangan strategi adaptasi yang memungkinkan tanaman pangan untuk bertahan hidup dan tetap produktif di bawah tekanan lingkungan yang ekstrem. Kelangsungan pasokan pangan sangat bergantung pada seberapa cepat dan cerdas petani mengadopsi teknologi dan praktik baru untuk mengatasi kondisi iklim yang semakin tidak menentu.

Salah satu tantangan terbesar bagi pertanian adalah adaptasi terhadap kekeringan. Kekeringan dapat menghancurkan panen dan mengancam mata pencaharian petani. Strategi adaptasi yang paling efektif adalah melalui penggunaan varietas tanaman yang toleran terhadap kekeringan. Lembaga penelitian pertanian secara aktif mengembangkan dan menyebarkan benih unggul, seperti varietas padi gogo atau jagung hibrida tertentu, yang dapat bertahan dengan kebutuhan air yang jauh lebih sedikit dibandingkan varietas konvensional. Selain itu, praktik agronomi yang cerdas sangat penting dalam Mitigasi Perubahan Iklim. Petani harus mengadopsi sistem irigasi yang presisi, seperti irigasi tetes, yang mengantarkan air langsung ke zona akar tanaman, meminimalkan pemborosan akibat penguapan. Di kawasan sentra padi di Pulau Jawa, Kementerian Pertanian melalui program Gerakan Tanam Tepat Air pada 22 Januari 2025, mendorong penggunaan System of Rice Intensification (SRI), sebuah metode yang terbukti dapat mengurangi konsumsi air hingga 30% sambil mempertahankan atau bahkan meningkatkan hasil panen.

Di sisi lain spektrum, curah hujan ekstrem dan banjir juga merupakan ancaman serius. Air yang berlebihan dapat menyebabkan akar tanaman busuk (root rot) dan hilangnya unsur hara penting dari tanah (leaching). Adaptasi terhadap kondisi ini memerlukan perbaikan infrastruktur lahan dan teknik budidaya. Pembangunan saluran drainase yang efektif di lahan sawah adalah mutlak untuk memastikan air dapat segera dialirkan saat terjadi banjir. Mitigasi Perubahan Iklim melalui praktik no-tillage (tanpa olah tanah) atau minimum-tillage juga membantu. Praktik ini meningkatkan kandungan bahan organik tanah, yang berfungsi sebagai spons alami, meningkatkan kemampuan tanah untuk menyerap dan menahan air, sehingga mengurangi limpasan permukaan yang menyebabkan banjir.

Aspek krusial dari upaya Mitigasi Perubahan Iklim adalah peran penyuluhan dan informasi cuaca. Petani harus didukung dengan akses informasi yang akurat mengenai prediksi musim. BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) secara rutin mengeluarkan prediksi cuaca tiga bulanan. Informasi ini memungkinkan petani untuk membuat keputusan tepat waktu mengenai jadwal tanam, pemilihan varietas yang sesuai dengan proyeksi curah hujan, dan penyesuaian strategi irigasi. Dengan kombinasi penggunaan varietas adaptif, teknik konservasi air, perbaikan drainase, dan dukungan informasi yang solid, sektor pertanian dapat membangun ketahanan yang diperlukan untuk menghadapi ketidakpastian iklim.